Oleh: Agustinus Siswani Iri*
Hadirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa, menimbulkan harapan yang besar bagi masyarakat. Pemilihan kepala desa merupakan wujud demokrasi di Desa. Demokrasi secara umum berarti pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Pemilihan kepala desa dikatakan merupakan wujud demokrasi di Desa karena memastikan rakyat turut serta dalam pemerintahan berupa memilih pemimpinnya.
Kabupaten Flores Timur telah menggelar pemilihan Kepala Desa secara serentak dan hasilnyapun sudah diketahui oleh publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, kewenangan untuk melakukan pelantikan berada ditangan Bupati. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 UU Desa.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa: (1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak; (2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih; (3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2); (4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota; (5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari Panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/ Walikota; (6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/ Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Kepastian Hukum dan Keterbukaan Itu Penting
Bupati Flores Timur telah mengeluarkan Keputusan Bupati untuk mensahkan dan kemudian melantik Kepala Desa terpilih di tiga daratan yaitu wilayah Flores daratan, wilayah Solor dan Adonara.
Namun ada Kepala Desa terpilih dari rakyat yang tidak disahkan oleh Bupati. Salah satunya adalah Kepala desa terpilih Lewoingu atas nama Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Bupati Flores Timur mengeluarkan keputusan Bupati Flores Timur Nomor 328 Tahun 2021 Tentang Putusan Terhadap Sengketa Pemilihan Kepala Desa Lewoingu pada pemilihan serentak Kepala Desa Kabupaten Flores Timur Tahun 2021.
Isi Surat Keputusan Bupati tersebut pada bagian memutuskan dan menetapkan pada point kesatu a, Menyatakan menerima keberatan pemohon terhadap hasil pemilihan Kepala Desa Lewoingu Kecamatan Titehena pada pemilihan Kepala Desa serentak kabupaten Flores Timur. Pada point kedua b, Menyatakan bahwa berita acara hasil perhitungan suara pemilihan Kepala Desa Lewoingu adalah tidak sah sehingga calon Kepala Desa Lewoingu yang memperoleh suara terbanyak tidak dapat di sahkan pengangkatannya dengan keputusan Bupati Flores Timur.
Penekanan dari SK Pembatalan Bupati Flores Timur ini pada bagian memutuskan bagian b, adalah terkait tidak sahnya berita acara hasil perhitungan suara. Dari point b ini dapat dikatakan bahwa yang dipersoalkan disini adalah hasil perhitungan suara. Bila ada keberatan terkait proses dari syarat penjaringan calon dari awal maka dalam SK Bupati pasti di sampaikan secara tertulis terkait proses dan syarat pejaringannya,namun itu tidak tertuang dalam SK tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses penjaringan calon dari awal telah berjalan dengan baik dan tidak bermasalah. Bila kita merujuk pada berita acara hasil perhitungan suara dapat terlihat bahwa Panitia Pemilihan Kepala Desa Lewoingu telah mengeluarkan hasil perolehan suara sah yaitu: pasangan nomor urut satu Lambertus Lagawuyo Kumanireng mendapat suara 226, pasangan nomor urut dua Rafael Wadang Kumanireng memperoleh suara 71 , dan pasangan nomor urut ketiga Dere Yakobus Beoang memperoleh suara 176.
Hasil pemilihan ini juga sudah ditandatangani oleh ke tujuh panitia pemilihan kepala Desa Lewoingu yaitu Maria Kristoforus Waleng Tukan sebagai ketua,Ignasius Naya Tukan sebagai wakil ketua, Heribertus Yohanes Noku Beoang sebagai sekretaris, Angelina Melkiades Tea sebagai bendahara, Donatus Datong Kumanireng sebagai anggota, Andreas Naya Koten sebagai anggota dan Alexius Geroda Sogen sebagai anggota.
Hasil pemilihan ini juga ditandatangani oleh saksi atau kuasa dari para calon kepala desa Lewoingu. Pada tanggal 05 Oktober 2021 juga telah terjadi ikrar dari para calon Kepala Desa Lewoingu. Bunyi ikrarnya sebagai berikut: Kami para calon Kepala Desa Lewoingu dengan ini mengikrarkan pertama, siap mensukseskan jalannya pemilihan Kepala Desa yang aman , damai, kondusif dan bermartabat. Kedua,siap menjaga keamanan dan ketertiban selama proses pemilihan Kepala Desa. Ketiga, siap mengendalikan massa pendukung. Keempat, Siap kalah dan menang dalam proses pemilihan Kepala Desa. Kelima, Siap menerima apapun hasil dari pemilihan Kepala Desa. Keenam,siap tidak mengekspresikan kemenangan Pilkades secara berlebihan. Ikrar ini ditandatangani oleh ketiga calon Kepala Desa Lewoingu dan ditandatangi oleh ketua panitian pemilihan Kepala Desa Lewoingu.
Berdasarkan UU Desa pada pasal 37 dikatakan bahwa Bupati atau Walli Kota mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, Pasal 41 ayat (7) memuat norma yang sama dan hanya ditambah denganwaktu yang tersedia untuk penyelesaian sengketa selama tiga puluh hari, ketentuan tersebut selengkapnya menyebut sebagai berikut: Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, bupati/walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
Terhadap persoalan PILKADES Lewoingu Bupati Flores Timur telah menerima masukan dari panitia Kabupaten dalam menyelesaikan sengketa PILKADES Lewoingu.Kelemahan dari UU Desa dan Peraturan lain dalam kenyataannya tidak adanya aturan yang tegas dalam peraturan perundangan-undangan dari tingkat pusat sampai aturan pelaksanaan di tingkat daerah yang secara tegas mengatur mekanisme dan prosedur proses penyelesaian sengketa Pilkades ditingkat desa yang dibentuk oleh BPD maupun Panitia Pilkades Tingkat Kabupaten yang dibentuk Bupati dan berakibat pada kurangnya memberikan solusi atas permasalahan baik yang terkait dengan proses maupun hasil.
Walaupun tidak ada mekanisme dan proses penyelesaian sengketa PILKADES dalam peraturan perundang-undangan, namun penyelesaian sengketa tetap berpegang pada hukum dengan melihat fakta-fakta hukum yang ada.
Diharapkan bahwa keputusan Bupati Flores Timur terkait tidak menerima hasil perhitungan suara PILKADES Lewoingu mesti dapat dibuktikan. Bupati mesti membuktikan keputusan tersebut bila para pihak yang berkepentingan bertanya atau menggugat. Selain itu konsekuensi diajukan keberatan dari pihak pemohon dalam sengketa hasil PILKADES Lewoingu adalah kewajiban dari pemohon untuk membuktikan adanya kehilangan suara , yang tentunya pembuktian tersebut harus berdasarkan alat bukti yang sah yakni surat, bukti saksi, sangkaan, pengakuan, sumpah.
Untuk pembuktian dapat dilakukan dengan membandingkan formulir hasil rekapitulasi suara yang dimiliki oleh para saksi pasangan calon. Panitia Kabupaten dan Bupati dalam menyelesaikan sengketa PILKADES Lewoingu harus mendengarkan duabelah pihak atau mendengarkan juga pendapat atau argumentasi pihak yang lainnya sebelum menjatuhkan keputusan, hal ini sebagai salah satu cara pengambilan keputusan pihak yang berwenang setelah memberikan kesempatan kepada para pihak menyampaikan argumentasi dan bukti-bukti sebagai alat pendukungnya sebelum mengambil keputusan. Mengapa harus mendengarkan kedua belah pihak dan perlu ada pembuktian, hal ini demi kepastian hukum, keadilan dan suara dari para pemilih.
Diharapkan bahwa Bupati dan Panitia Kabupaten Flores Timur berpegang pada fakta hukum dan peraturan yang ada. Bupati Flores Timur dalam menyelesaikan persoalan sengketa PILKADES Lewoingu mengedepankan asas kepastian hukum.
Asas kepastian hukum menurut UU Pemda 2014 adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Kepastian hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara atau Penyelenggaraan Pemerintahan.
Asas kepastian hukum mengandaikan bahwa semua kebijakan dan keputusan atau tindakan harus didasarkan pada landasan hukum yang jelas dan kuat dan tidak melanggar hukum. Ketika Bupati sudah memutuskan maka Bupati juga dapat mempertangung jawabkan keputusan bila publik bertanya.
Jika publik bertanya terkait apa alasan yang mendasar terkait keputusan untuk mensahkan atau tidak mensahkan Kepala Desa hasil pemilihan maka bupati memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan yang bertanya terkait keputusan. Hal ini terkait dengan asas keterbukaan dalam penyelenggaraaan pemerintahan yang baik.
Asas keterbukaan menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Asas keterbukaan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan haknya guna memperoleh data atau informasi (keterangan) yang benar, lengkap dan akurat (dapat dipercaya kebenarannya) tentang kegiatan dan hasil-hasil yang dicapai oleh pemerintah.
Prinsip keterbukaan juga memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan tanggapan dan kritik yang membangun terhadap pemerintah, memberikan penilaian terhadap jalannya pemerintahan. Pemerintah sebagai pihak berwenang harus mau dan mampu menyampaikan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, karena memperoleh informasi adalah hak bagi masyarakat yang dijamin dengan Undang-Undang.
Kritik atas UU dan PP yang Menyatakan bahwa Penyelesaian Sengketa PILKADES oleh Bupati atau Walikota
Dalam UU Desa penyelesaian sengketa hasil Pilkades ini nyatanya hanya diatur dalam Pasal 37, dimana pasal tersebut menentukan penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Bupati/ Walikota. Ketentuan tersebut berbunyi: Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Begitupun jika mencermati pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, Pasal 41 ayat (7) memuat norma yang sama dan hanya ditambah denganwaktu yang tersedia untuk penyelesian sengketa selama tiga puluh hari, ketentuan tersebut selengkapnya menyebut sebagai berikut: Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, bupati/walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
UU Desa dan PP yang mengatakan bahwa sengketa PILKADES diselesaikan oleh Bupati atau Walikota dapat dikritisi. UU atau PP ini mempunyai kelemahan dan masalah karena ketentuan yang demikian merupakan norma yang tidak clear dan mengandung problematika tersendiri ketika mengatur penyelesaian sengketa hasil Pilkades.
Permasalahan pertama adalah masalah independensi, regulasi a quo semata-mata hanya menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Bupati atau Walikota, sehingga dikhawatirkan keputusannya tidak benar-benar independen, karena secara latar belakang politik sangat mungkin saja Bupati atau Walikota memiliki keterkaitan dan interest pribadi dengan salah satu calon kepala desa.
Kedua, Selain itu, jika sengketa hasil Pilkades penyelesaiannya diserahkan kepada Bupati akan mungkin menimbulkan proses panjang. Mengapa demikian? Karena jika Bupati memutuskan perselisihan Pilkades, maka keputusannya itu akan dituangkan dalam suatu Keputusan Bupati. Keputusan Bupati itu sendiri menurut hukum administrasi negara dapat ditafsirkan sebagai suatu keputusan tata usaha negara (beschkking) karena, keputusan itu berisi tindakan hukum yang normanya merupakan penetapan dan bersifat konkrit-individual, sehingga dapat menjadi objek gugatan pengadilan tata usaha negara.
Hal ini sangat membuka peluang adanya proses gugatan tata usaha negara terhadap keputusan bupati atau walikota oleh pihak yang merasa tidak puas. Dengan demikian, artinya, keputusan bupati atau walikota sebagaimana dimaksud dalam regulasi tersebut tidak dapat secara efektif menyelesaikan sengketa hasil Pilkades secara tuntas.
Gugatan Ke PTUN
Kepala Desa Terpilih yang tidak disahkan oleh SK Bupati Flores Timur dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kewenangan untuk mengadili sengketa dalam kasus Pilkades Lewoingu adalah Peradilan Tata Usaha Negara karena menyangkut keputusan tertulis yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam kasus pembatalan Kepala Desa Terpilih Lewoingu oleh Bupati Flores Timur maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk mengadili sengketa Pilkades tersebut dan yang menjadi obyek gugatan adalah keputusan Bupati terkait tidak mengesahan Kepala Desa terpilih. Obyek gugatannya adalah keputusan Bupati Flores Timur Nomor 328 Tahun 2021 Tentang Putusan Terhadap Sengketa Pemilihan Kepala Desa Lewoingu pada pemilihan serentak Kepala Desa Kabupaten Flores Timur Tahun 2021.
Keputusan Bupati Flores Timur terkait tidak mengesahan kepala desa terpilih Lewoingu sebagai obyek sengketa pilkades, karena keputusan Bupati telah menimbulkan akibat hukum tehadap Kepala Desa terpilih berupa hak dan kewajiban, sehingga dengan demikian telah menimbulkan hukum yang baru (konstitutif) bagi Kepala Desa terpilih tersebut yakni tidak dapat disahkan dan tidak dapat dilantik.
Dalam kasus ini pihak yang mengajukan gugatan adalah Kepala Desa terpilih yang tidak disahkan oleh SK Bupati yaitu Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Lambertus Kumanireng sebagai seseorang yang kepetingannya dirugikan akibat Keputusan Tata usaha Negara yang diterbitkan oleh Bupati Flores Timur.
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negara agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Pihak tergugat dalam sengketa ini adalah Bupati Flores Timur karena dia adalah pejabat negara yang telah mengambil Keputusan Tata Usaha Negara dan menimbulkan akibat hukum. Pada pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memuat ketentuan bahwa yang dimaksudkan dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang undanganyang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Tergugat dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Selain itu ada pihak ketiga.
Pihak Ketiga yang berkepentingan dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan : Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksaoleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai pihak yang membela haknya, atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga dalam kasus ini disini yakni kedua calon Kepala Desa Lewoingu yang lain atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa demi keadilan dan kepastian hukum maka PTUN merupakan solusi untuk menyelesaikan kasus tersebut.
*Agustinus Siswani Iri, Rohaniawan Keuskupan Larantuka Tinggal di Bandung
Dapatkan Artikel Viral dengan Gabung di Google News Kami
