Romo Magnis Suseno Berpandangan Ada Dilema Moral Richard Eliezer: Lawan Batin atau Sambo?

Magnis Suseno, Richard Eliezer, Sambo
Rate this post

Jakarta, suarnews.com – Tim penasihat hukum terdakwa Richard Eliezer atau Bharada E menghadirkan Guru Besar Filsafat Moral, Romo Magnis Suseno sebagai ahli yang meringankan dalam persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Ketua tim Penasihat Hukum Bharada E, Ronny Talapessy mengungkapkan, Romo Magnis dihadirkan untuk menjelaskan konflik moral yang dirasakan Richard Eliezer ketika melakukan penembakan terhadap Brigadir J.

“Kenapa kita hadirkan beliau? Karena kita mau sampaikan bahwa terjadi konflik moral yang besar, dilema moral yang dihadapi oleh Richard Eliezer ketika harus menembak almarhum Yosua,” ujar Ronny ditemui sebelum persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Baca artikel menaril lainnya: Login dan Cek Status Penerima BSU 2022, Cair Sampai Tanggal 27 Desember 2022

Sebagaimana diketahui, Romo Magnis Suseno adalah tokoh Agama Katolik sekaligus budayawan. Ia juga merupakan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STF) Driyarkara. Romo Magnis telah menerbitkan sejumlah buku di antaranya Kuasa dan Moral (1986), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (1989), dan Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (2016).

Dilema moral Bharada E Dalam persidangan, Romo Magnis mengungkapkan bahwa terdakwa Bharada E mengalami dilema moral saat diperintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Menurut Romo Magnis, Richard berada dalam dua sisi saat mendapatkan perintah dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu untuk menembak Yosua. Di satu sisi, perintah tersebut menyalahi etika dan moral. Namun, di sisi lain ada budaya ‘siap laksanakan’ atas perintah seorang atasan. Di titik ini, Bharada E hanya seorang Bhayangkara tingkat dua (Bharada) yang diperintah oleh Kadiv Propam Polri saat itu berpangkat Inspektur Jenderal Polisi (Irjen) dengan bintang dua di pundaknya.

“Dia bingung karena berhadapan dengan dua norma yang satu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya tidak bisa dibenarkan,” kata Romo Magnis. “Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana,” terang Romo Magnis.

BACA JUGA  Warga Lebak Demo Tolak Pembangunan TPST, Minta Kajian Lingkungan

Romo Magnis lantas menyampaikan bahwa secara etika normatif, Bharada E harus menolak perintah menembak Yosua. Namun, di sisi lain, Richard juga dihadapkan dengan relasi kuasa Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam saat itu yang tidak mungkin ditolak perintahnya. “Tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia? Mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah, (Bharada E) sudah biasa laksanakan (perintah),” papar Romo Magnis. “Meskipun dia (Bharada) ragu-ragu, dia bingung, itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan,” terang Romo Magnis. Lihat Foto Guru Besar Filsafat Moral Prof. em. Dr. Romo Frans Magnis-Suseno SJ memasuki ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Romo Magnis pun menilai, tidak seharusnya Bharada E disalahkan sepenuhnya dalam peristiwa penembakan yang menewaskan Brigadir J. Ia berpandangan, dalam sisi etika moral, Bharada E dihadapkan kondisi bingung dan tak tahu harus berbuat apa ketika diperintahkan oleh atasannya. “Dari sudut etika (Bharada E) dalam situasi bingung, menurut saya, jangan begitu saja mengutuk atau mempersalahkan dia (Bharada E) obyektif dia salah,” kata Romo Magnis. “Dia harus melawan, tapi apakah dia bisa mengerti? Dan dalam etika, pengertian kesadaran itu merupakan unsur kunci,” jelasnya. Dua unsur meringankan Romo Magnis menilai, terdapat dua unsur yang dapat meringankan Richard Eliezer terkait tindakannya melaksanakan perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Ia berpendapat, unsur pertama yang dapat meringankan adalah kedudukan Richard sebagai anggota Polri berpangkat rendah yakni Bharada. Menurut Romo, pangkat rendah Bharada E yang ketika itu berhadapan dengan eks Kadiv Propam Porli membuatnya terpaksa utuk melaksanakan perintah atasannya tersebut. “Budaya laksanakan (perintah) itu adalah unsur yang paling kuat,” kata Romo. Menurut Romo Magnis, perbedaan pangkat antara Bharada E dengan Ferdy Sambo membuatnya mengalami dilema moral terhadap tindakan melaksanakan perintah untuk menembak Brigadir J.

BACA JUGA  Ancaman Longsor di Bantaran Kali Bekasi: Warga Was-Was Rumah Tergerus

Guru Besar Ilmu Filsafat ini juga menilai, unsur meringankan lainnya yakni keterbatasan waktu berfikir ketika mendapatkan perintah dari atasan yang merupakan Jenderal bintang dua itu. Menurut Romo Magnis, Bharada E dihadapkan dalam situasi yang membingungkan untuk melaksanakan atau menolak perintah yang secara norma merupakan perintah yang salah. “Dia (Bharada E) harus langsung bereaksi. Itu dua faktor yang secara etis yang meringankan,” kata Romo Magnis. “Kebebasan hati untuk mempertimbangkan dalam waktu berapa detik mungkin tidak ada,” ucapnya melanjutkan. Dalam sidang kali ini, tim penasihat hukum Bharada E juga menghadirkan psikolog klinik dewasa Liza Marielly Djaprie dan psikolog dan Psikolog Forensik dan Reza Idragiri Amriel. Baca juga: Ferdy Sambo Klaim Sempat Perintahkan Richard Eliezer Berhenti Tembak Yosua Terkait kasus ini, Richard Eliezer didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf. Dalam dakwaan disebutkan, Richard menembak Brigadir J atas perintah Sambo yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.

Peristiwa pembunuhan Yosua disebut terjadi lantaran adanya cerita sepihak dari istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, yang mengaku dilecehkan Yosua di Magelang pada 7 Juli 2022. Atas informasi itu, Sambo kemudian marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Yosua yang melibatkan Richard, Ricky, dan Kuat di rumah dinasnya di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022. Atas peristiwa tersebut, Sambo, Putri, Richard, Ricky dan Kuat didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dapatkan Artikel Viral dengan Gabung di Google News Kami

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *