Setelah Dilaporkan, Rikardus Umbu Berikan Klarifikasi

Rikardus Umbu, pemilik akun Facebook Icad
Rate this post

Rikardus Umbu, pemilik akun Facebook Icad, memberikan klarifikasi atas postingannya yang berujung laporan polisi oleh Solidaritas Persatuan Wartawan Lewotana (PEWARTA) Flores Timur.

Seperti diberitakan sebelumnya, Solidaritas Persatuan Wartawan Lewotana (PEWARTA) Flores Timur, dibawah koordinasi wartawan TVRI Patman Werang, melaporkan akun facebook  Poullzend Polseno Niron dan Icad yang atas status facebook keduanya yang dianggap menyerang profesi wartawan.

Icad pada hari Sabtu, 19 Februari 2022, pukul  15:11 Wita membuat status facebook, “Wartawan lapar menggadai idealisme jurnalistik untuk politik”. Tulisan akun Icad ini menyita perhatian netizen. Beragam komentar muncul dari berbagai pihak. Pada Minggu, 20 Februari 2022, akun Icad menghapus kata “Lapar” dari tulisan sebelumnya menjadi “Wartawan menggadai idealisme jurnalistik untuk politik”.

Setelah beberapa kali melakukan klarifikasi di facebook melalui kolom komentar dan status-status yang dipostingnya, hari ini pemilik akun Icad, Rikardus Umbu membuat klarifikasi atas tulisan tersebut. Klarifikasi Rikardus Umbu, dibuat dengan judul Wartawan Yang Dimaksudkan, diterima oleh redaksi suarnews.com hari ini. Berikut klarifikasi Rikardus Umbu tersebut:

WARTAWAN YANG DIMAKSUDKAN

Pertama-tama ingin saya sampaikan bahwa ketika saya menulis sama sekali tidak bermaksud untuk menggeneralisir semua pihak atau orang yang berada dalam naungan Profesi Wartawan. Sama sekali tidak.Itu dulu yang harus dipahami.

Kemudian, kedua, ketika saya megatakan “wartawan lapar” pokok pembicaraan yang saya maksudkan itu dengan sendirinya sudah dipersempit pada subyek “wartawan lapar”, yang pemahamannya sama seperri “Wartawan Olahraga”, “wartawan Budaya”, atau katakanlah “wartawan NTT” yang sudah tentu skup pembicaraanya berarti wartawan yang bertugas di NTT atau juga bisa dipahami wartawan yang berasal dari NTT. Jadi “wartawan NTT” tidak dalam konteks membicara seluruh seluruh orang yang berprofesi sebagai wartawan.

Ketiga, hal ini sebenarnya tidak pas juga kalau saya katakan, tapi baiklah saya sampaikan biar persoalan clear. Yakni soal “wartawan lapar”. Namun sekali lagi apa yang akan saya katakan ini, “wartawan lapar” tidak dalam konteks mengarah pada satu pihak tertentu karena ini merupakan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kita bangsa Indonesia dan menjadi keprihatinan banyak pihak, termasuk lembaga yang menjadi stakeholder dan berkompeten dalam persoalan dunia jurnalistik.

Kalau saya mengatakan “wartawan lapar” maka kata “lapar” ini harus dipahami dalam arti “penghasilan” wartawan tersebut dibawah standar UMP atau UMR. Karena bagaimanapun pemerintah daerah sudah mempunyai survey yang mendalam sehingga UMP atau UMR ditetapkan bagi para pekerja di satu daerah. Jadi kalau dibawah UMP

atau UMR tentu penghasilan tersebut tidak memenuhi kelayakan hidup. Dan kalau tidak

memenuhi kelayakan hidup, apalagi selaian dikatakan tidak bisa memenuhi kebuntuhan primer yang salah satunya adalah makan.

Keempat, masih melanjutkan soal lapar dan UMP, kalau sebuah media menggaji karyawannya di bawah UMR atau UMP maka sudah tentu media tersebut telah melanggar ketentuan Pemerintah tentang pemberian upah.

Kelima, pertanyaannya, mengapa media tersebut melanggar ketentuan Pemerintahan soal pengupahan karyawan (wartawan maksudnya). Jangan-jangan media tersebut tidak terdaftar, tidak terverifikasi, tidak diuji kompetensi dan memperoleh sertifikat? Boleh dikatakan media tersebut media abal-abal.

Dan soal media abal-abal yang tidak mendaftarkan diri, terverifikasi dan tidak mempunyai sertifikat ini sebagai dikatakan Menteri Komunikasi dan Informasi serta Dewan Pers berjumlah ribuan. Tiga tahun lalu saja dikatakan saja rilis Kemenkoinfo menyebutkan sekitar 43.000 media online, sekarang boleh jadi sudah mencapai 50.000.

Dan yang terverifikasi ternyata luar biasa, di bawah 1 (satu) persen. Sekali lagi di bawah satu persen, sangat mengejutkan. Nah, kalau medianya abal-abal maka sudah hampir dipastikan wartawan yang dipekerjakan adalah wartawan yang tidak terdaftar, tidak terverifikasi, tidak mengikuti ujian kompentensi, kemudian lulus uji kompetenti dan diberi sertifikat. Dan hal ini, bisa di-browsing di internet.

Sangat banyk pihak yang berkompeten, seperti Kemenkoinfo, Dewan Pers atau lembaga asosiasi Pers seperti PWI, AJI atau para pengamat media massa mengatakan dan menyayangkan soal media dan wartawan yang tidak terdaftar.

Dan kalau sudah seperti ini kondisinya, media dan wartawan yang tidak mempunyai sertifikat, maka gaji yang diperolehpun tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidaknya dengan berpatokan pada UMP atau UMR. Tapi sekali lagi saya mau tegaskan, bahwa apa yang saya katakan dalam postingan saya tidak ditujukan pada pihak atau kelompok tertentu. Dan apa yang saya sampaikan ini, sekali lagi, hanya pernyataan yang merespon fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kita dan menjadi keprihatinan bersama termasuk stakeholder yang berkompeten dengan dunia jurnalistik.

Terkait pihak-pihak yang melapor saya ke polisi, saya ingin tahu apakah mereka masuk dalam kategori “wartawan lapar” atau tidak. Dan, maaf, bicara lapar atau tidak maka seperti saya paparkan di atas terkait UMP/UMR dan keberadaan media serta wartawan tersebut apakah sudah tersertifikat atau belum.

Kemudian soal posisi atau predikat sebagai wartawan juga patut dipertanyakan. Karena ini menyangkut legal standing. Mereka yang melapor tentu harus bisa membuktikan bahwa mereka adalah wartawan. Pembuktian harus menggunakan sertifikat wartawan. Dan sertifikat itu diperoleh karena telah melewati tahapan pendaftaran, diverifikasi, mengikuti uji kompetisi, dinyatakan lulus dalam ujian. Kalau tidak ada atau bisa memperlihatkan sertifikat maka jelas posisi para pelapor bukanlah wartawan. Dan kalau bukan wartawan maka tidak ada legal standing untuk melapor.

Jakarta, 24 Februari 2022/Rikardus Umbu (Icad)

Dapatkan Artikel Viral dengan Gabung di Google News Kami

Related posts