Salah satu ahli waris pemilik lahan SD Inpres Pohon Bao, Max Labina menagih sisa ganti rugi lahan tersebut sebesar Rp.150.000.000 dari total nilai ganti rugi yang seharusnya berjumlah Rp.350.000.000, yang masih belum diselesaikan Pemerintah Kabupaten Flores Timur hingga saat ini. “Saya sudah lupa tahun berapa. Tapi waktu itu pak bupati (ketika itu Yoseph Lagadoni Herin, Red) yang sendiri menelpon bapa saya (almarhum Aloysius Boki Labina, Red) bahwa Pemda akan membayar total ganti rugi lahan SD Inpres Pohon Bao, sebesar Rp. 350 juta,” kata Max Labina mengawali penuturannya kepada wartawan, Rabu (9/6) di Larantuka.
Max Labina lebih lanjut menceritakan bahwa, sisa ganti rugi tersebut kemungkinan besar masih berada di tangan salah satu pejabat di Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Flores Timur. Dugaan itu, dia kemukakan mengingat seluruh proses pembayaran ketika itu dilakukan oleh pejabat dimaksud. “Ceritanya lucu. Ketika itu bapak saya diminta buka rekening di Bank NTT. Katanya karena keuangan Pemda ada di Bank NTT. Setelah kami buka, tiba-tiba datang seorang staf BKAD Flores Timur yang meminta kami buka lagi di BRI. Kami langsung ke BRI dan mengikuti prosedur buka rekening baru. Selesai rekening BRI dibuka, orang itu datang lagi, minta kami buka di BNI, dengan berbagai alasan. Kami ikut saja. Buka lagi rekening di BNI,” cerita Max yang mengaku saat menjalani proses pembukaan rekening tersebut ia didampingi seorang anggota polisi dari Polres Flotim, sekarang sudah pindah.
Max melanjutkan, dalam perjalan pulang dari BNI, staf BKAD yang meminta dirinya membuka rekening, malah menyampaikan bahwa ternyata uang tidak ditransfer tetapi dibayar tunai. Saat itu, Max mengaku mulai curiga ada yang tidak beres dengan persoalan ini.
Tetapi menurutnya, tidak lama kemudian Pak Cipto Keraf datang ke rumah dengan membawa uang tunai dalam kresek untuk membayar ganti rugi itu. Sayangnya, jumlahnya tidak sama dengan yang disampaikan oleh Pak Bupati melalui telepon. Yang dibayar hanya Rp.200 juta. “Waktu itu, dia (Cipto Keraf, Red) beralasan bahwa menjelang akhir tahun kondisi keuangan tidak mencukupi, jadi kita iya-iya saja,” papar Max Labina yang saat itu didampingi seorang kerabatnya.
Lebih lanjut Max Labina mengatakan bahwa, setelah peristiwa pembayaran di rumah orangtuanya ketika itu, dia pernah beberapa kali berusaha untuk menagih sisa uang ganti rugi tersebut. Bahkah pernah pula melaporkan kasus ini ke Polres Flores Timur. “Tapi ketika itu saya diarahkan ke ruangan Kasat Intel untuk bertemu dengan Pak Kasat. Waktu itu, oleh Pak Kasat saya diminta untuk fokus saja ke masalah tanah di lokasi bekas Kantor PU. Saya ikut saja dulu. Tapi ternyata sampai hari ini tidak pernah ada informasi lanjutan,” terangnya.
Max mengaku setelah itu ia kembali ke Sulawesi, sehingga tidak mengurus lagi. Ia menambahkan, saat ini baru ia berkesempatan untuk kembali ke Larantuka lagi karena ada beberapa urusan, termasuk diantaranya untuk menagih sisa uang ganti rugi sebesar Rp.150 juta tersebut.
Ketika ditanya lebih lanjut tentang apakah dia dan keluarga akan mengambil langkah hukum atas kasus sisa ganti rugi itu, Max Labina menyebutkan bahwa jalur hukum itu merupakan upaya terakhir jika semua upaya secara kekeluargaan tidak diindahkan oleh pihak Pemkab Flores Timur. “Seperti yang sudah saya ceritakan tadi bahwa kasus ini sudah pernah dilaporkan ke polisi. Tapi kerena pertimbangan itu tadi maka prosesnya tidak jalan sampai hari ini. Karena itu, sekarang saya datang untuk menagih yang sisa itu secara kekeluargaan dulu. Tapi kalau itu tidak ditanggapi secara baik, maka saya akan lapor polisi lagi,” tegasnya seraya menambahkan bahwa dia menduga seluruh uang ganti rugi sebesar Rp.350 juta itu telah keluar dari kas daerah, namun yang dibayar kepada bapaknya hanya sejumlah Rp.200 juta.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Flores Timur Cipto Keraf yang namanya juga disebut oleh Max Labina ikut dalam proses pembayaran ganti rugi lahan di SD Inpres Pohon Bao Kecamatan Larantuka ketika itu, saat dimintai tanggapannya melalui pesan singkat ke nomor WA-nya Rabu (9/6) sekitar pukul 13.45 serta sekitar pukul 08.40 Kamis (10/6) pagi tadi, tidak menanggapinya.
Walau begitu, melalui hubungan telepon beberapa saat setelah itu, kepada SuarNews.com menjelaskan bahwa pihaknya ketika itu hanya membayar sesuai apa yang tertera dalam berita acara kesepakatan yang ada, yang ditanda-tangani bersama antara almarhum Ramli Bapa Laot (selaku Kepala BKAD ketika itu) bersama pemilik tanah (alm. Aloysius Boki Labina).
Dikatakannya bahwa, berdasarkan kesepakatan yang diteken pada Senin, 28 Januari 2013 itu, antara lain bahwa niliai ganti rugi itu sebesar Rp210.000.000, dengan harga per meter persegi yang disepakati yaitu sebesar Rp.86.000 untuk luas lahan seluruhnya sebesar 2.438 meter persegi. Walau begitu Cipto Keraf tidak membantah berbagai informasi yang disampaikan Max Labina selaku ahli waris terkait nilai keseluruhan yang disebut sebesar Rp350.000.000 itu. “Saya juga pernah dengar dari Pak Tonce (dimaksud adalah Antonius Tonce Matutina, mantan Sekda Flores Timur, Red) bahwa ada informasi pula bahwa harganya sebesar Rp.600 juta. Tapi terus terang saja, saya hanya bisa bayar sesuai nilai yang ada dalam berita acara kesepakatan yaitu, Rp210.000.000. Itu harga yang disepakati setelah terjadi negosiasi,” ujar Cipto.
Terhadap kemungkinan bahwa ahli waris akan memproses kasus itu secara hukum, secara diplomatis dia menyebut hal itu sebagai hak dari yang bersangkutan. Walau begitu Cipto Keraf juga mengatakan bahwa sebelumnya juga sudah pernah dilaporkan sebanyak dua kali. “Kalau tidak salah, dulu saya pernah dilaporkan. Waktu itu mereka menggunakan Pak Mini Temaluru sebagai kuasa. Dan kedua juga pernah dilaporkan lagi oleh kuasa hukum waktu itu, Pak Daud,” ujarnya menutup pembicaraan. (SuarNews/002)
Dapatkan Artikel Viral dengan Gabung di Google News Kami
