Masyarakat adat Koibuto menggugat pengusaha Lembata Benediktus Lelaona dan Kepala Desa Merdeka Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata. Melalui keterangan pers, Rafael Ama Raya, Gaspar Sio Apelaby dan Juprians Lamabelawa Kuasa Hukum Masyarakat Adat Kolibuto, Kecamatan Lebatukan menjelaskan bahwa kliennya telah mendaftarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Lembata pada hari Senin tanggal 31 Juni 2021.
Gugatan itu ditujukan Kepada Tergugat 1 Presiden RI, cq. Gubernur NTT, cq. Bupati Lembata, cq. Camat Lebatukan, cq. Kepala Desa Merdeka dan Tergugat 2 adalah Benediktus Lelaona. Gugatan Masyarakat Adat Kolibuto tersebut, tercatat di Pengadilan Negeri Lembata dengan nomor Perkara:10/Pdt.G/2021/PN.Lbt.
Salah satu kuasa hukum Masyarakat Adat Kolibuto, Rafael Ama Raya menjelaskan dalam keterangan perssnya bahwa kliennya melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Lembata lantaran Kepala Desa Merdeka pada tanggal 26 September 2018 lalu telah menghibahkan tanah milik Masyarakat Adat Kolibuto kepada pihak investor atas nama Benediktus Lelaona tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat Kolibuto.
Lebih lanjut Ama Raya menjelaskan, berdasarkan penuturan para kliennya tanah itu bukan tanah milik Desa Merdeka, melainkan tanah ulayat Masyarakat Adat Kolibuto. “Jika Kepala Desa Merdeka mengaku tanah itu milik desa, kami tantang kepala desa, apa bukti alas hak atas kepemilikan tanah itu? Sejak kapan tercatat sebagai aset desa Merdeka? Apa dasar perolehannya jika tanah itu tanah desa? Desa Merdeka peroleh dari mana dan dengan cara apa desa perolehan tanah itu? Jangan main hibah seenaknya sementara itu bukan aset desa,” tegas Ama Raya.
Ama Raya meminta, kepala desa jangan main hibah sesuka hati sementara barang/tanah itu sendiri bukan milik Desa. Hal itu, menurutnya melanggar hukum karena melanggar hak orang lain. “Jadi, jika tanah tersebut bukan milik desa, lalu kepala desa menghibahkan kepada pihak lain dalam hal ini pihak investor, maka itu melanggar hukum karena melanggar hak Masyarakat Adat Kolibuto,” kata Ama Raya lagi.
Pengacara muda itu kemudian menekankan bahwa karena hibah yang diberikan Kepala Desa Merdeka ke pihak Benediktus Lelaona itu dilakukan dengan cara melanggar/menabrak hak orang lain maka hibah tersebut sudah tentu tidak bernilai dan batal demi hukum. “Untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah yang dihibahkan tersebut, maka klien kami yang merasa haknya dirugikan, melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Lembata untuk mengambil kembali tanah milik Masyarakat Adat Kolibuto yang dihibahkan Kepala Desa Merdeka secara melawan hukum itu,” ujarnya Ama Raya lagi.
Senada dengan Ama Raya, rekannya Gaspar Sio Apelaby mengungkapkan bahwa hibah yang diberikan kepala desa Merdeka kepada Benediktus Lelaona itu cacat hukum, karena dibuat secara melawan hukum. “Ada hak orang lain yang dilanggar disitu,” kata Apelaby. Karena hibah itu dibuat secara melawan hukum, lanjut Apelaby, maka digugat untuk dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Lembata dan dikembalikan kepada pemilik lahan yang sebenarnya yaitu Masyarakat Adat Kolibuto. “Selanjutnya mau dimanfaatkan untuk apa, ya itu kembali kepada Masyarakat Adat Kolibuto itu sendiri,” jelas Apelaby.
Ketika ditanya perbuatan mana yang tergolong sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat sehingga hibah atas tanah tersebut harus di batalkan, Juprians Lamablawa selaku ketua Tim Penasihat Hukum Masyarakat Adat Kolibuto menerangkan ada dua hal yang membuat hibah tersebut harus dibatalkan antara lain hibah itu diberikan oleh orang yang tidak berhak atas tanah yang dihibahkan. Penghibahan, menurutnya, merujuk pada pasal 1666 KUHPerdata adalah suatu perjanjian antara si pemberi hibah dan si penerima hibah. “Jika hibah adalah suatu perjanjian, maka hibah tersebut harus merujuk pada pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat sahnya suatu perjanjian,” ujar Lamabelawa.
Lebih lanjut Lamabelawa menjelaskan, jika hibah tersebut melanggar syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur pasal 1320 KUHPerdata maka hibah tersebut gugur atau batal demi hukum.
Ketua Tim Pengacara Masyarakat Adat Kolibuto itu juga mengatakan, selain hibah tersebut dibuat dengan menabrak syarat sahnya perjanjian karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya suatu perjanjian yaitu causa halal. “Hibah itu pun batal demi hukum karena hibah yang diberikan oleh Kepala Desa Merdeka kepada Benediktus Lelaona melanggar Pasal 1682 KUHPerdata,”ujar Lamabelawa lagi.
Ia kemudian menegaskan, Pasal 1682 KUHPerdata pada pokoknya mengatur bahwa jika hibah itu berupa barang tidak bergerak seperti halnya tanah, maka penghibahan tersebut wajib dilakukan di hadapan Notaris/PPAT, tidak bisa dibuat dengan hibah dibawah tangan. “Jika penghibahan dibuat di bawah tangan dengan mengandalkan materai 6000 (enam ribu) maka hibah atas tanah tersebut batal demi hukum dan sudah barang tentu tidak bernilai hukum,” pungkas Pengacara Kongres Advokat Indonesia ini. (SuarNews/001)
Dapatkan Artikel Viral dengan Gabung di Google News Kami









